Kisah Seks Seorang Pria Tua Cabul

Aku merantau di Medan ini sendiri.
Istriku sudah tak ada, anak-anakku pun udah merantau ke Jawa sana
semuanya. Sudah hampir semua kerjaan kulakukan di Medan ini. Pernah aku
menarik becak, kuli bangunan dan segala macam. Akhirnya aku kenal dengan
Pak Tanto, seorang pengusaha muda keturunan yang terbilang sukses.
Aku tinggal di rumahnya inilah. Semua
pekerjaan kulakukan saja. Sebagai satpam pun iya, pembantu pun iya.
Karna tampangku yang tua, semua teman-temanku memanggilku Opung. Pak
Tanto, istri dan
anak-anaknya juga memanggilku begitu.
anak-anaknya juga memanggilku begitu.
Pak Tanto berumur lebih muda dariku,
sekitar 40 taun. Istrinya Bu Sylvia, 33 taun, sipit, cantik, montok,
putih dan yah, menariklah. Mereka punya 2 anak perempuan. Clara, 14 taun
dan Jessica, 12 taun. Mereka berdua, tentu saja mewarisi keelokan fisik
orang tuanya. Bermata sipit, berkulit putih mulus dan memang
cantik-cantiklah.
Udah setaun lebih aku kerja di rumah
ini. Pak Tanto dan anak-anaknya pun udah akrab denganku. Kecuali Bu
Sylvia yang memang agak jutek dan ja’im. Tapi aku acuh saja. Yang
penting kerjaanku beres, gajiku lancar, itu saja.
Waktu itu hari Minggu, Pak Tanto
sekeluarga berlibur ke pantai sekitar 2 jam dari Medan. Sekali ini, aku
diajak ikut. Setelah mengantar Bu Sylvia dan anak-anaknya ke suatu
resort untuk berenang menghabiskan waktu disitu, Pak Tanto mengajak aku
ke ladang milik keluarga mereka yang tak jauh dari situ. Sekitar sore,
kami kembali ke resort itu untuk menjemput mereka. Ternyata Bu Sylvia
sudah menunggu di lobby resort tersebut, beserta Jessica dan Clara yang
ternyata keduanya tertidur di sofa masih mengenakan pakaian renangnya!
Ternyata mereka kecapean berenang, dan tertidur tanpa mandi, tanpa
berganti pakaian.
“Mereka tadi kecapean, langsung bablas aja bobo, mau mandi pun tak kuat lagi,” demikian kata Bu Sylvia.
Singkat cerita, kedua anak itu kami
angkat ke mobil sedan Pak Tanto. Ini yang hebat! Karna aku memang tak
bisa menyetir, jelas Pak Tanto harus menyetir mobil dengan Bu Sylvia
duduk di sebelahnya. Di belakang, karena sudah banyak barang-barang,
terpaksa Clara di tengah, dan aku di duduk di pinggir sambil memangku
Jessica yang ketiduran itu! Sebelum naik mobil tadi, kepalaku udah
pusing memikirkan kemungkinan ini. Dan ternyata setelah kejadian, aku
betul-betul menggigil. Selama ini tak pernah ada hasrat seksualku pada
mereka. Tapi sekarang, Jessica, anak 12 taun yang cantik putih mulus ini
duduk dengan pantat di atas kontolku cuma dengan pakaian renang! Dia
memakai pakaian renang model two-piece berwarna pink yang tipis sekali.
Belum lagi kakaknya Clara tidur di sebelah kami hanya dengan short dan
tank top berwarna biru muda. Kurang ajar, kontol tuaku betul-betul
bergetar dibuatnya.
Di awal perjalanan, Bu Sylvia menyuruhku
untuk menutupi tubuh Clara dan Jessica dengan selimut yang ada di
mobil. Masuk akal, karena mereka pasti kedinginan karena AC mobil. Baru
10 menit mobil berjalan menuju Medan, aku sudah harus menyetel kontolku.
Karna tadi memang lemas dan nunduk ke bawah, tapi terkena tindihan
pantat dan tubuh Jessica, mau tak mau aku harus merogoh kontolku untuk
menegakkan posisinya.
Di perjalanan, aku betul-betul hampir
meledak. Jalanan tak mungkin mulus semua. Sedikit saja gerakan mobil
udah cukup untuk membuat tubuhku dan tubuh Jessica bergoyang. Kedua kaki
Jessica kukangkangkan, kutaruh di kedua sisi kakiku. Memeknya
kuposisikan pas di atas tonjolan kontolku. Enak betul, brani aku sumpah!
Tangan kiriku kulingkarkan di pinggang Jessica, supaya posisi pantat
dan memeknya tetap di atas kontolku. Tangan kananku kurangkulkan ke
belakang tubuh Clara yang tertidur pulas sambil memeluk bantal mobil di
sampingku.
Jelas, kedua tanganku itu pun tak bisa
diam. Tangan kiriku seperti punya otak sendiri, tak tau malu meraba-raba
perut Jessica dan turun terus ke bawah. Awalnya tanganku cuma
meraba-raba gundukan memeknya dari luar. Ah, ini aja pun udah nikmat
betul kurasa. Kuelus-elus bagian memeknya itu. Tapi tak puas begitu, aku
beranikan merogoh ke balik pakaiannya. Kumasukkan tanganku ke dalam
celananya, menerobos juga celana dalamnya. Terasa belum ada bulu disitu.
Kalau pun ada, otakku tak akan tau. Sensasi yang begitu hebat sudah
menguasai pikiranku saat itu. Terus jari-jari tuaku yang kasar ini
bergerak. Nah, ini belahannya terasa. Seperti satu garis saja.
Kuelus-elus, kuraba-raba. Nikmat, edan, sumpah!
Tangan kananku apa kabar? Jelas, dia pun
tak mau diam. Setelah awalnya hanya meraba-raba susu kanan Clara dari
luar, tak tau malu tangan kananku menyelusup ke balik tank topnya. Sudah
ada beha (atau miniset?) memang di sana. Tapi tak apa, tak kurang
nikmatnya. Dengan lembut kuraba-raba dan kuremas-remas tetek mungil si
Clara. Merem melek mataku, nikmatnya bukan main.
Sensasinya bukan main! Tangan kiriku
mengelus-elus memek si Jessica, tangan kananku meremas lembut tetek si
Clara. Percayalah, tak mungkin ada sensasi sehebat ini. Pantatku
kugoyang perlahan-lahan, agar kontolku pun tergesek2 ke pantat dan memek
Jessica.
Sementara mobil melaju, kekurangajaranku
pun meningkat. Perlahan-lahan, kubuka retsleting celanaku dan
kukeluarkan kontolku. Selimut yang menutupi sebagian besar tubuh kami
memang sangat membantu, sungguh aku berterima kasih pada ide Bu Sylvia
tadi. Kontol tuaku ini sudah tegang dan keras bagai besi,
kugesek-gesekkan ke paha mulus si Jessica. Bahkan kutarik sedikit sisi
bawah celananya dan kudorongkan pantatku biar kepala kontolku tergesek
ke bibir memeknya. Guncangan pada mobil yang melaju sungguh membantu aku
merasakan gesekan-gesekan cabul ini. Ampun Tuan, ampun Nyonya, tapi
inilah nikmat duniawi tertinggi buatku seumur hidup.
Mungkin memang mereka lelah luar biasa.
Tak ada tanda-tanda mereka bangun dan tersadar. Sungguh beruntung
kurasakan. Dan akhirnya, sekitar setengah jam sebelum sampai ke Medan,
aku tak tahan lagi. Kumuntahkan maniku di selangkangan Jessica. Mataku
terpejam, gigiku rapat menahan teriakan dari mulutku. Kurasakan ada
lumayan banyak maniku tertumpah disitu. Pasti kotor sekali. Kulirik
Clara masih tertidur, Jessica pun demikian. Aku menghela nafas panjang.
Nikmat, sungguh edan sensasinya. Perlahan-lahan kulap tumpahan maniku
dengan selimut itu. Aku yakin masih ada sisa-sisa lendir yang menempel
di bibir memek Jessica, tapi kubiarkan saja, ntah knapa otakku pun jadi
tak beres lagi. Tapi aku janji pada diriku untuk langsung membawa
selimut ini ke tempat cucian sesampainya di Medan nanti…
****************************** *************************
Besok-besoknya, tak ada perkembangan
berarti. Kelihatannya pun Jessica dan Clara (dan juga kedua orang
tuanya) tak pernah tau apa yang terjadi di mobil saat itu. Justru aku
yang sekarang kelimpungan. Pandanganku terhadap mereka, sudah tak
seperti melihat anak majikan atau bahkan cucu lagi. Di mataku, kedua
anak ini adalah bidadari molek yang sangat menggairahkan. Aku, si macan
tua yang kembali buas, melihat dua kelinci mulus montok berkeliaran di
depan mata, siap untuk dimangsa.
Oya, di rumah yang besar itu, selain
kami berlima juga ada pembantu mereka. Namanya Jumilah, asli dari Jawa.
Sering ngobrol dengan dia, tau sedikit latar belakangnya. Umurnya masih
23, tapi sudah janda, punya anak satu yang ditinggal di Banjarnegara
sana. Orangnya tak begitu cantik, agak pendek tapi montok, pinggangnya
kecil tapi tetek dan pantatnya besar dan kulitnya kuning langsat bersih.
Sejak kejadian di mobil itu, teganganku
memang selalu tinggi. Tak heran, si Jumilah ini pun selalu kutatap
dengan jalang. Apalagi dia memang sering ‘kurang ajar’. Di rumah sering
pakai celana atau rok pendek dengan kaos ketat saja. Pantat bahenol nya
itu sering menjadi sasaran cubitan-cubitan mesumku. Biasanya dia cuma
cengengesan dan ketawa saja menanggapi keisenganku.
Satu sore, aku sedang mandi di kamar
mandi belakang. Pak Tanto sekeluarga sedang pergi, si Jumilah pun tadi
bilang mau belanja ke supermarket dekat sini. Sambil mandi memang sering
kuelus-elus kontol tuaku ini sambil kusabuni hingga setengah tegang.
Akhir-akhir ini memang aku sering onani sendiri. Semua kubayangkan di
kepalaku. Clara yang cantik dan tinggi, gundukan lembut memek Jessica,
tetek dan pantat Jumilah, sampai bu Sylvia pun berseliweran di
khayalanku.
Tiba-tiba pintu kamar mandi dibuka. Tadi
memang tak kukunci, karena aku cuma sendiri di rumah. Belum hilang
kagetku, tiba-tiba si Jumilah masuk, memelorotkan rok dan celana
dalamnya. Sepertinya dia belum sadar aku ada di situ. Langsung dia
jongkok di atas WC dan terdengar brat bret brot. Bah, kayaknya dia
mencret itu. Setelah duduk, baru dia liat aku ada disitu telanjang bulat
dengan kontol setengah hidup melambai-lambai. Langsung dia tarik ember
menutupi memeknya yang terkangkang. Tadi sempat kulihat sekilas,
memeknya tembem dengan bulu yang lumayan tebal.
“Aduh! Opung kok disini??” tanyanya setengah teriak.
“Bah, kau pun maen masuk aja. Aku lagi mandi.”
“Iya Pung, sori abis aku kebelet banget.
Tadi ndak tau abis ndak kedengeran suara orang lagi mandi, yo wis aku
masuk.” Jawabnya sambil matanya melirik-lirik kearah kontolku.
Aku tak menjawab. Aku teruskan mandi, bersabun sambil menggosok-gosok kontolku yang tentu saja semakin keras.
“Kau ini Jumilah, bikin aku tinggi aja pun. Jadi keras kali kontolku ini kau bikin bah.”
“Ah Opung, langsung ngeres. Aku kan cuma nebeng be’ol.”
“Iya tapi kau lihat ini, totongku sudah
keras kali. Macam mana ini? Eh, memekmu itu lebat kali jembutnya. Kenapa
gak kau cukur sekali-sekali?” Aku cengengesan tak tau malu sambil terus
mengelus-elus burungku yang sudah keras
“Opung ah, ngaco aja. Isin aku. Eh, siniin gayungnya Pung. Aku mo cebok.”
“Ah, mana bisa aku masih pake.” Kumat
isengku, aku duduk di kursi dingklik kecil yang ada di kamar mandi itu,
bersandar ke tembok.
“Pung!! Pinjem gayungnya dong!!”
“Tak bisa Jum. Sini aku cebokin kau..”
“Ah ndak mau. Gila!!” Jumilah setengah merengek.
Akhirnya setelah 5 menit merengek tanpa kuhiraukan, dia mengalah dan mau kucebokin.
“Tapi masih jorok Pung. Opung gak jijik?”
“Ah tak apa. Sinilah kau dekat.” Suaraku parau, kontolku bergetar-getar.
Muka merah menahan malu, Jumilah
beringsut ke arahku. Tak berani berdiri tegak, melangkah setengah
jongkok sambil menutupi jembutnya. Setelah agak dekat, dia berbalik dan
jongkok tepat di depanku. Mataku sudah nanar melihat bongkahan pantatnya
yang montok dan besar itu. Kuambil air dengan gayung di tangan kanan,
tangan kiriku gemetaran merogoh ke bawah pantatnya, ke selangkangannya.
“Pantatmu besar kali Jum. Nafsu aku,”
bisikku di telinganya sambil mulai menceboki pantatnya. Terasa masih ada
sisa kotoran di sekitar lobang pantatnya. Tapi nafsu sudah ke
ubun-ubun, tak terasa jijik sama sekali. Malah mungkin makin membakar
gairahku.
“Hhhngg.. Geli Pung,” Jumilah berbisik, tundukkan kepalanya menahan malu.
Lalu kuambil sabun, kusabuni daerah
lobang pantatnya, kugosok dan kuelus-elus. Jumilah masih jongkok
membelakangiku sambil tersedu-sedu. Tak bisa ditahan lagi, jari-jariku
makin kurang ajar. Jari tengah tangan kiriku menerobos masuk ke
memeknya, dan jari telunjuk mendesak masuk ke lobang pantatnya. Tangan
kananku bergerak melingkari pinggangnya, kutarik dia makin dekat ke
arahku.
“Aaaah, geli Pung, jorok…” Kepalanya
menengadah, terengah-engah, pasti dia pun sudah terangsang hebat. Aku
tau itu, karena memeknya terasa becek dan semakin becek. Kontolku tak
usah ditanya lagi. Sudah tegak mengacung, menyentul pantat bahenol si
Jumilah dari belakang.
“Tak ada jorok Jum, kan sudah kubersihkan pakai sabun,” bisikku di telinganya.
Tak puas disitu, kudorong punggung
Jumilah sampai dia menungging, bertumpu pada sikunya di lantai kamar
mandi. Dengan posisi seperti ini, pantatnya semakin jelas di mataku.
Kusiram pakai air, sampai lenyap sabun yang ada di situ. Dan terlihat
jelas lobang pantatnya yang mungil. Memeknya sungguh tembam dengan
bulu-bulu di sisinya yang lumayan tebal. Entah siapa yang mendorong,
kepalaku maju, lidahku nyasar di lobang pantat si Jumilah. Kujilati
dengan ganas lobang pantat yang mungil dan wangi itu, sambil jari
telunjukku terus menusuk-nusuk memek si Jumilah yang tembem dan aduhai.
Malah jari tengahku pun akhirnya ikut menemani menjelajah ke kedalaman
memek Jumilah.
Sementara si Jumilah sudah tak jelas
kabarnya. Dia meracau, sebentar menunduk sebentar menengadah sambil
mengeluarkan suara erangan, teriakan atau apalah namanya. Yang jelas
soundtrack seperti itu makin mempermesum suasana di kamar mandi itu.
Memek dan lobang pantatnya terus kujilati, kutusuk, kulahap dengan
ganas. Tak lama, tangan kirinya menggapai ke arah kepalaku, setengah
menjambak rambutku sambil berteriak kencang.
“Puuuung.. Opungg.. Akhhhh.. Ampunnn!!!” Orgasme si Jumilah
Tersenyum aku dalam hati. Masih mantap juga jilatanku. Padahal kontolku belum beraksi, heheheh..
Kujilati lagi semua cairan di
selangkangan si Jumilah. Asin, gurih, nikmat, jari-jariku pun kujilati.
Jumilah terguling ke samping, menggeletak di lantai kamar mandi. Bajunya
basah semua, matanya merem melek, teteknya kelihatan naik turun,
terengah-engah. Kubiarkan saja sesaat, dia masih mengumpulkan kembali
tenaganya.
“Jumilah, bajumu basah semua. Mandilah sekalian ya,” kataku sambil meraih pundaknya, membantu untuk berdiri.
“Opung gila. Kacaulah kita ini,” katanya sambil membiarkan aku membuka baju kaos dan behanya.
Setelah kaitan behanya kulepas,
terpampanglah teteknya yang besar itu di depanku. Entah ukuran berapa,
tak tau aku, yang jelas betul-betul besar. Langsung kujamah,
kuremas-remas dan kujilati pentil teteknya. Dia membiarkan saja sambil
memeluk kepalaku di dadanya. Tak lama, kepalaku naik dan mencium
bibirnya. Nikmat betul. Kami berpagutan dan bersilat lidah sambil
berdiri. Tangan Jumilah pun tak tinggal diam, membelai, mengelus dan
mengocok kontol tuaku yang dari tadi dianggurin.
“Jum, kau isap totong Opung ya?” bisikku di telinganya.
“Hnggg, pokoknya ta’ bales Pung. Sini Opung duduk di pinggir bak ajah,” katanya.
Aku setengah duduk di pinggiran bak
mandi itu. Jumilah mengambil sabun dan membersihkan kontolku.
Disabuninya sampai ke lobang pantatku juga, cekatan sekali dia. Aku cuma
memperhatikan sambil sekali-kali meremas tetek besarnya itu. Setelah
itu, disiramnya dengan air dan mulailah dia menjilati kontolku. Semua
dijilatinya, batang kontolku, biji pelerku sampai ke lobang pantatku.
Sungguh nikmat, betul-betul nikmat. Baru sekali ini aku merasakan
jilatan di lobang pantatku. Sensasinya luar biasa. Dan yang lebih hebat
lagi, kawan, adalah ekspresi di wajah si Jumilah ini. Sudah kubilang
tadi, dia tidaklah cantik sekali. Tapi saat itu, dia menjilati biji
kontolku sambil menatap mataku. Matanya sayu, setengah terpejam. Ah,
pokoknya, mantaplah..
Tak tahan aku berdiri setengah duduk di
bak ini. Akhirnya aku turun, duduk di lantai kamar mandi. Kutarik
Jumilah duduk di atas kontolku.
“Udahlah Jum, masukin aja ya, tak tahan lagi aku,” bisikku terengah-engah.
Jumilah menurut, dia duduk di atas
kontolku, matanya redup sayu, tangannya menuntun kontol tuaku untuk
masuk ke memeknya yang memang masih basah dan becek. Tak susah masuknya.
Blesss!! Kontolku nyungsep di memek
Jamilah. Kutarik Jamilah agar badannya merapat ke aku. Dia pun menciumi
wajahku. Lidahnya menyapu ke mataku, hidungku, bibirku, seluruh rongga
mulutku dijilatinya. Sambil pantatnya naik turun di kontolku dan
teteknya bergoyang-goyang di dadaku. Dunia tak ada lagi. Yang ada hanya
aku, Jumilah dan getaran nafsu di antara kami.
Tanganku sibuk meremas-remas pantat
besarnya. Tak puas disitu, jariku pun berkelana lagi menusuk-nusuk
lobang pantatnya. Sungguh anugerah terindah dalam hidupku setua ini.
Entah berapa lama, aku meledak! Tangan
kiriku menekan pantatnya ke bawah, kuremas sekuatnya, tangan kananku
menjambak rambutnya. Sambil kuhisap sekuatnya lidah Jumilah, kontolku
muntah di dalam memek hangatnya.
Jumilah mengerang tak jelas, nafasnya
mendengus macam kerbau. Kukunya mencengkeram pundakku, lidahku pun
digigitnya. Kalau pun putus, aku tak kan peduli. Dan kami terkulai
lemas. Kontolku sudah layu, masih tertanam di memeknya. Keringat kami
bercampur. Wanginya betul-betul aneh, tapi nikmat. Dan terasa cairan
memeknya bercampur dengan maniku, turun keluar dari memeknya, menelusuri
menyapu kontol dan biji pelerku..
Sejak saat itu, Jumilah pun menjadi
pacarku. Pacar, istri, partner seks atau TTM, apalah namanya. Yang
penting, hampir tiap hari kami melakukannya. Ada satu ritual tetap yang
selalu kami lakukan, yaitu saling menjilati lobang dubur masing-masing.
Entah kenapa, Jumilah kelihatan selalu antusias tiap kali menjilati
lobang pantatku. Dan aku pun semakin ketagihan. Sensasi yang kurasakan
tiap kali dia lakukan itu, sungguh membuatku mabuk dan semakin bernafsu.
Semua nafsu dan hasrat yang kurasakan
terhadap Clara, Jessica dan termasuk Bu Sylvia, kutumpahkan seluruhnya
pada Jumilah. Sungguh nikmat hidup tuaku ini..
http://www.ceritadewasangentot.net/kisah-seks-seorang-pria-tua-cabul/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar